http://edukasi.kompasiana.com
Dewasa ini banyak orang tua yang katanya menyayangi anaknya sehingga dengan cepat mengambil keputusan untuk memuaskan kehendak atau kesenangan anaknya. Seperti kebanyakan orang tua yang jika ditanyai korelasi antara pekerjaan dengan anak, mereka akan menjawab, “kita kerja untuk anak, jadi ya..bahagiakanlah mereka”.
Satu pertanyaan besar dalam benak saya, dengan cara bagaimana? Apa dengan memenuhi segala keinginannya? Dengan cara memanjakannya? Atau dengan melindunginya 24 jam sehari + 7 hari seminggu?
Jawabannya tentu saja iya, karena kita ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anak kita. Akan tetapi, kita sebagai orang tua (sebutan untuk kita yang tak dapat dihindari dan dimungkiri, seiring bertambahnya usia) harus dapat sebijak mungkin memberikan kasih sayang kepada anak-anak kita.
Anak : “Pah, mainan pistol-pistolanku diambil sama guruku, Ms.Feby. Katanya kalau mau pistol-pistolanku kembali, harus Ayah atau Bunda yang mengambilnya ke sekolah “.
Ayah : “Ya sudah.., tidak usah repot-repot segala. Minggu besok Ayah belikan lagi mainan yang sama ya sayang.. “
Sekilas dari petikan dialog di atas nampak sang Ayah menyayangi anaknya, karena rela merogoh koceknya LAGI untuk membelikan mainan yang sama demi anak tercintanya.
Tapi di balik itu semua, tanpa disadari sang Ayah telah menghancurkan character building yang hendak dibangun oleh gurunya di sekolah. Sang Ayah telah menghancurkan beberapa karakter sekaligus yang tadinya akan dikenal oleh anak : tanggung jawab, mengakui kesalahannya, menaati peraturan sekolah, hormat dan respect terhadap guru, dan tidak mengulangi kesalahannya, akan lenyap seketika dengan sikap orang tua yang katanya menyayangi anaknya.
Memenuhi segala keinginannya bukan berarti serta-merta membelikan semua yang ia minta. Tak berarti juga orang tua yang banyak uang (istilah anak-anak) dapat dengan mudah mengabulkan keinginan anak.
Contoh lain, mungkin tak jarang anda mendengar seorang anak yang mengadu kepada orang tuanya, “Mama, aku dipukul Toni”, tanpa menayakan sebab kejadian dan dengan nada marah, orang tua berkata, “Apa? Kamu dipukul? Mana sayang yang sakit? Ayo, antar Mama ke rumah Toni, biar mama pukul lagi anak itu!”
Tak lama kemudian terjadilah adu perang antar orang tua, karena tentu saja orang tua Toni pun tak terima tiba-tiba anaknya dipukul oleh Ibu temannya dengan alasan membalaskan dendam anaknya (biasanya ditonton juga oleh tetangga-tetangga sekitar. Hiburan dan gossip gratis, tanpa listrik). Sang mama puas dengan sikapnya yang membela anak tercinta, memanjakannya, dan melindunginya 24 jam sehari + 7 hari seminggu. Akan tetapi sang Mama yang berpikir praktis tersebut tak sampai memikirkan character yang tadinya akan dikenal oleh sang anak: mengatasi permasalahan sendiri, belajar menimbang mana yang benar dan mana yang salah, menahan emosi, serta menjalin hubungan baik dengan teman. Ya, sang Mama tak sampai memikirkan hal itu. Sangat disayangkan.
Memanjakan dan melindungi anak tercinta bukan berarti kita selalu menjadi pelindung disetiap permasalahan yang mereka hadapi, ada baiknya kita hanya sebagai penasehatnya saja yang berdiri di belakang layar, berikan mereka kepercayaan dalam menyelesaikan permasalahnnya sendiri.
“Bund, ayo donk kita berangkat sekarang! Nanti aku bisa terlambat ke acara pembagaian raport akhir semesterku”, ajak seorang anak. Bundanya menjawab, “Iya tenang sayang, sebentar lagi ya.., bunda belum selesai pakai blush on. Palingan juga acaranya ngaret. Nanti bunda telefon dulu gurumu ya, siapa tau raportmu bisa diambil lebih awal, jadi gak usah pake antre. Kan kacian anak bunda kalau harus nunggu lama”. Bagaimana tidak, dua kebiasaan buruk ini akan mendarah daging kepada anak-anak kita, ngaret dan tak mau antre, jika orang tua bersikap seperti ilustrasi di atas, dengan tedeng aling-aling kasih sayang (yang salah kaprah).
Belum lagi sikap permisif orang tua yang tidak tepat, mentolerir sikap anak yang dengan tegas saya sebut Tidak Sopan. Contoh kasus: Pada hari raya semua anggota keluarga berkumpul, biasanya lebih asyik duduk-duduk santai lesehan dengan menggunakan karpet, sudah pasti anak-anak pun senang berkumpul dengan saudara-saudaranya yang sebaya. Ketika pembagian amplop lebaran tiba, sebut saja cucu sulung dipanggil oleh kakeknya untuk menerima amplop lebaranyang pertama. Dengan berlenggak-lenggok melewati ua, paman, tante, orang tuanya, bahkan neneknya sendiri,dia cuek-cuek saja. Menyambar amplop dengan cepat seraya berteriak “Hore..empat lembar uang biru…”. Sikap cucu sulung pun tak ayal ditiru oleh cucu-cucu lainnya. Para orangtua tak menegur dan hanya berkata, “Hm..namanya juga anak-anak..”. Tanpa disadari kata permisi dan terima kasih yang seharusnya sudah luwes dipergunakan oleh anak-anak pun jadi kelu dan mereka tak merasa perlu menggunakan kata-kata itu lagi.
Semua tindakan kasih sayang kita terhadap anak haruslah dapat dilakukan sebijak mungkin. Tentu saja dengan mempertimbangkan pesan moral dan karakter apa yang akan mereka dapat atau malah yang akan hancur setelah tindakan kasih sayang yang kita berikan. Jadi, benarkah kita sudah menyayangi anak-anak kita dengan benar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar